Positive Believe
Pengalaman kehilangan salah satu
orang tua untuk selamanya bukan hal yang langka. Tapi rangkaian kejadian yang
terjadi sebelum, saat, atau bahkan saat orang tua sudah tiada menjadi hal yang
istimewa karena setiap orang punya cerita sendiri, punya kesan tersendiri.
Begitu pun dengan saya, kehilangan ayah kurang lebih 3 tahun yang lalu masih
menyisakan kenangan tersendiri. Kesan itu ada bahkan jauh sebelum ketiadaan
beliau.
Ayah meninggal karena gagal
ginjal atau lebih tepatnya komplikasi ginjal, karena gagal ginjal berdampak
pada tekanan darah yang meninggi. Sebelum meninggal, ayah sempat menjalani
pemasangan alat untuk cuci darah, namun saat operasi selesai dilakukan, beliau
mengalami gagal nafas sehingga koma selama kurang lebih 2 bulan. Selama itu
pula pernafasan beliau dibantu ventilator. Selama itu pula beliau mendekam di
ruang ICU. Selama itu pula saya menunggu di luar, mondar mandir untuk menebus
obat, memeriksakan sampel darah, sampai Allah memberikan keputusan terbaikNya,
ayah meninggal tanpa sempat sekali pun membuka mata.
Saat pertama kali diberitakan
kondisi ayah yang koma, saya sempat limbung, air mata tak juga berhenti
mengalir, lisan ini tak berhenti mengucap istighfar, mohon ampun atas segala
dosa yang mungkin sempat terukir sehingga bisa saja Allah sedang menghukum saya
saat itu. Seiring berjalannya waktu saya kembali disadarkan, diingatkan dengan
melihat banyak peristiwa yang berkelebat selama keseharian saya di rumah sakit.
Kemudian saya bisa menerima dengan lapang, dengan tenang, sembari terus
berharap keputusan terbaik dari Nya, hingga saat hati ini benar-benar ridho,
saat itu juga Allah memberikan keputusanNya.
Allah adalah Sebaik-baik
Pendidik, melalui berbagai peristiwa yang terjadi di rumah sakit saya merasa
tercerahkan, merasa cobaan yang saya alami bukan lah apa-apa dibandingkan orang
lain yang cobaannya jauh lebih sulit. Hal yang paling berkesan adalah saat saya
membaca artikel tentang bagaimana berpositive believe, terus berbaik sangka
terhadap keputusan Allah, yang akan melahirkan ketenangan jiwa, buah dari baik
sangka, ketenangan yang langsung dicurahkan oleh Allah. Bukankah pada akhirnya,
jika Allah menakdirkan kita –dan semoga saja begitu- meninggalkan dunia ini
dengan sebaik-baik akhir (khusnul khatimah) maka panggilan yang akan diserukan
adalah “Wahai jiwa yang tenang ..”? . bacaan tersebut semacam charge, yang
memberi saya ketahanan hingga akhir.
Saya tidak menyesal menyikapi
kejadian yang lalu dengan sikap tersebut, meskipun masih ada sesal atas
dosa-dosa yang mungkin tercipta saat saya berada di rumah sakit selama 2 bulan.
Dosa yang mungkin saja semakin menambah durasi saya berada di rumah sakit. Saya
mensyukuri pernah mengalami masa-masa itu, masa yang tidak akan terlupakan. Dan
semoga saja saat mengalami persoalan serupa, keyakinan atas keputusan
terbaikNya tidak sekali pun bergeser dari hati saya, tidak luput dari pemikiran
saya.
Allah telah mendidik saya untuk
lebih dewasa dalam menghadapi persoalan, lebih peka dan peduli terhadap sesama,
dan tentu saja untuk terus melebihkan syukur atas segala nikmat dan karunia
yang telah Allah beri, Allah karuniakan. Tidak berputus asa dari rahmatNya,
dari kasih sayangNya, terus mengiba dan berharap hanya padaNya. Hingga Allah
menunjukkan jalanNya.