Sore itu dengan terpaksa aku harus ke
kampus, ya terpaksa, karena aku harus memberi makan ‘anak-anak’ baru yang
kubeli di Situbondo demi menyelesaikan studiku dan aku tidak ingin mereka mati
lagi karena itu berarti aku harus ke Situbondo lagi .. tidaaaaaaaaaaak. Dan karena
jarak rumah dengan kampusku tidak dekat. Harus berjalan sekitar 1 km untuk
mendapat angkot dan musti oper pula. Hehe banyak alesan banget yak!
Saat itu hujan deras, di rumah ada
ayah dan kakak laki-lakiku, tapi ayahku sedang nyenyaknya istirahat dan aku
tidak tega mengganggu tidur beliau. Dengan sedikit berat hati aku meminta kakak
laki-lakiku ini untuk mengantarku ke tempat dimana aku bisa menunggu angkot.
Akan tetapi dengan lantangnya ia
menjawab, “udan ngono .. ayah ae lho
.. “(hujan gitu, ayah saja, red).
Aku hanya bisa
mencibir dan menggerutu,”Iiih ni orang, ayah kan capek! Masak nganter adeknya
sendiri yang paling manis ini nggak mau, dasar!”.
Akhirnya dengan
berat hati dan ucapan, “Bismillahirrohmanirrohim .. luruskan niat!! Lurus!!”
aku berangkat dengan wajah pias, pamit kepada ibuku yang cuma bisa
bertanya-tanya kenapa nggak minta diantar.
Bekal perjalananku saat itu cuma uang
10ribu di kantong, karena kupikir cukuplah buat naik angkot 2 kali pulang pergi
dan sebuah payung yang cukup besar untuk orang sekecil aku. Kali ini aku
memilih jalan yang kusebut “behind the
scene” karena jalan ini adanya di bagian belakang perumahanku yang bisa
tembus ke jalan raya dengan melewati pemakaman, TK, SMP, dan sebuah panti
asuhan.
Sepertinya tak banyak angkot yang akan
lewat di depanku, orang-orang yang lewat hanya memandangiku heran sekaligus
kasihan (mungkin ..). Melihat gadis
manis bawa payung hujan-hujanan di pinggir jalan pula.
Hey, apa
tampangku ini tampang melas ya?
Lama aku menunggu penuh ketidak pastian,
mungkin hampir 30 menit. Sebuah taksi melintas agak perlahan, aku sempat
berpikir ..
“Kalaulah naik taksi itu seharga naik
angkot .. pastilah aku lebih memilih naik taksi”(khayalan tingkat tinggi).
Tanpa kusadari
perlahan taksi itu berputar arah kemudian mendekatiku dengan kacanya yang
sedikit diturunkan. Seorang bapak, yaaa.. mungkin sekitar 30 tahunan bertanya
padaku
“Dek, mau kemana?.
Jalan besar yang di sana ta? Sini saya antar, angkotnya sedang sepi
kalau di sini”
“He?” aku
tercengang dan menjawab dengan lugunya, ”Saya nggak punya uang Pak, terima
kasih”
“Ndak papa dek, nggak usah bayar”
jawab bapak itu
Ada
rasa bingung sekaligus terharu dengan tawaran bapak itu, fillingku mengatakan
orang ini baik, dan anehnya tanpa ba bi bu lagi dan berucap bismillah aku
langsung naik ke dalam taksinya. Mungkin orang akan bertanya-tanya kenapa
dengan begitu mudah aku menerima tawaran bapak itu, tapi saat itu aku hanya
menuruti nuraniku, hanya itu.
Setelah aku masuk, bapak ini mulai
angkat bicara,”Saya ini paling nggak tega kalau lihat orang perempuan sendirian
apalagi kalau ibu-ibu, jadi ingat ibu saya, saya lihat adek jadi ingat adek
perempuan saya, adek mau kemana?”
“Ke
kampus”,jawabku singkat.
“Dimana?”
tanyanya lagi. “Di Brawijaya, Pak.
Ada sedikit
penyesalan dalam hatiku, hatiku berbisik ”Hey!kau ini perempuan, mana prinsipmu
itu huh?”. Sejenak aku berpikir,” ini darurat,InsyaALLAH nggak
papa .. ALLAH Maha Tahu”. Meskipun aku mencoba tenang tapi kegelisahanku rupanya
ditangkap oleh bapak ini.
“Saya
ini sering ditolong orang dek, jadi apa salahnya saya nolongin orang” ceritanya.
”Taksi ini ada nomor lambungnya dek,” sambil menunjuk angka yang tergambar di
depan. “Kalau saya berbuat jahat tinggal telpon polisi, sebut nama taksi dan
nomer lambungnya, ketahuan nanti siapa yang nyetir” sambil mencoba
menenangkanku. Dan bapak ini dengan sukses menenangkanku.
Kami pun mengobrol sepanjang
perjalanan. Bapak ini sudah menikah dan punya 2 putra. Keluarganya tinggal di Malang. Tapi beliau biasa
berkeliling Indonesia
untuk sebuah proyek. Pekerjaannya
sebagai supir taksi ini bisa dibilang baru dan pekerjaan sambilan sembari
menunggu datangnya proyek. Adik perempuannya lulus setahun yang
lalu dan sekarang sudah bekerja.
Aku terhenyak dan terharu, di tengah
hiruk pikuk orang-orang yang sibuk memikirkan diri sendiri bapak ini dengan
tulus menolong orang lain yang dianggapnya sebagai ‘balas budi’ orang-orang
yang pernah menolong beliau.
Aku diturunkan di
terminal Arjosari, untuk memudahkanku, kata bapak ni, lagipula beliau juga
menuju terminal. Beberapa anak remaja berlarian membawa payung sembari
berkata,”Payung .. payung”. Bapak ini tersenyum dan berkata ”Adek-adek ini ..”
Aku turun dari taksi sembari
mengucapkan terima kasih dan salam. Salam penghuni surga untuk bapak yang baik
hati.
Perjalananku tidak terhenti sampai di
situ, sepanjang jalan menuju angkot aku berpikir dan terus berpikir ..
bagaimana aku bisa membalas jasa bapak yang baik itu .. hanya dengan do’a .. cukupkah
???
Seorang nenek
berteduh di bawah pohon sembari menunggu angkot yang melintas, ia melihatku dan
sontak berkata ”Sini lho nak ..”. aku tersenyum dan mendekatinya.
“Mau kemana nak?”
tanya si nenek
“Ke kampus bu, di
Brawijaya” jawabku sambil sesekali tersenyum.
“Naik apa?” tanyanya lagi.
“AL bu” jawabku singkat. “Ibu mau kemana?” tanyaku
“Ke Pasuruan, tempat anak ibu” jawab
beliau.
Aku sedih, dalam hati aku bertekad
tidak akan membiarkan orang tuaku seperti nenek ini.
“Saya mau ke
kamar mandi, bisa antar saya?” tanya nenek itu. “Oh ya bu” jawabku. Dengan cekatan aku membuka payungku dan mengantarkan
nenek ke kamar kecil yang berada sekitar 5 meter dari tempat kami berdiri. Alhamdulillah
.. payung lebar ini berguna juga akhirnya.
Seusai dari kamar
kecil aku mengantar nenek sampai tempat dimana bus kecil ke Pasuruan biasa
bertengger (hehe,emang burung??). Nenek itu tersenyum sembari berucap,”Terima
kasih, nak”. “Ya bu”, jawabku singkat.
Aku tersenyum
puas, setidaknya bisa dibilang aku sudah membalas jasa bapak supir tadi. Energi
kebaikannya tidak mengendap padaku dan aku sangat senang. Keikhlasan bapak
itulah yang bisa membuatku seperti ini.
Pukul 17.25 aku baru naik angkot. “Wah
wah .. pasti sampainya maghrib” pikirku. Dalam angkot aku mengingat kembali
peristiwa tadi sembari tersenyum geli, “Seperti drama” pikirku. Subhanalloh ..
aku sangat bersyukur dipertemukan dengan orang-orang yang baik seperti bapak
supir, nenek, dan masih banyak sekali orang-orang baik yang kutemui di
perjalanan. Itulah seninya jalan kaki sodara-sodara ..
Dalam rasa haru yang
sangat .. hiks