Cintaku Hanya Untukmu



Ini kisah tentang penantian, penantian yang tidak berujung kebahagiaan.
          Aku masih di sini, ya, di pinggir jalan. Menanti angkot yang tak kunjung melintas. Mungkin karena ini sudah maghrib, jadi hanya beberapa angkot yang masih beroperasi, karena itulah ciri khas jenis angkot yang kutumpangi.
          Seorang kakek dengan dua tongkat di tangannya menghampiriku. Lamat-lamat kulihat ternyata kaki kakek ini hanya satu. Kakek itu menyapaku perlahan
          “Nak, nunggu siapa?”tanyanya ramah
          “ABB Pak” jawabku singkat
          “Nggak usah takut nak, saya nggak berniat jahat. Rumahnya dimana nak?”
          “Di Jambangan Pak” tuturku.
          Entah kenapa tiba-tiba kakek ini bercerita lebar tentang kehidupannya, tentang cintanya yang kandas, dan tentang kakinya yang harus diamputasi.
          Sebenarnya kakek ini pada awalnya normal. Ya, normal tanpa tongkat itu. Ia menjadi begitu karena kecelakaan yang menimpanya, yang mengharuskannya untuk diamputasi. Dan karena itu pulalah cintanya kandas. Cinta yang tidak menghendaki ketidaksempurnaan. Mungkin itu yang bisa kusimpulkan. Perempuan yang telah lama ia nantikan dan akan berjanji setia di pelaminan itu meninggalkannya saat tahu bahwa kekasihnya tidak lagi normal. Kejam memang. Memandang kebahagiaan dan cinta hanya sebatas fisik semata. Dan kakek itu sampai saat ini masih membujang. Memilih untuk tidak memberikan cintanya itu pada perempuan lain, selain kekasihnya itu.

Menjadi Ibu



Menjadi ibu berarti berani menjadi lebih dewasa, jauh lebih dewasa dari anak-anaknya tanpa merasa lebih. Yah, sifat yang baik itu unik ia akan ada tanpa si empunya bisa merasa, semakin ia merasa smakin hilang sifat baiknya

Menjadi ibu berarti siap menanggung segala keperluan anaknya, baik lahiriah maupun batiniah, siap menempa si anak menjadi sebaik-baik manusia, sebaik-baik khalifah sebagaimana yang ALLAH firmankan padanya

Menjadi ibu berarti siap lahir dan bathin mendapatkan hal terbaik maupun terburuk sekalipun dalam membesarkan anaknya, karena anak selain amanah adalah cobaan yang bisa membuat seorang ibu makin dekat atau malah semakin jauh dari RobbNya

Menjadi ibu berarti siap menanggung segala kesalahan yang ia perbuat kala mengajarkan anak perbuatan yang tidak baik baik secara langsung atau tidak dan harus diap terkejut kala mengetahui kebaikan yang berlimpah adalah wujud bakti seorang anak padanya

Menjadi ibu berarti siap menjadi surga bagi anaknya, yang senantiasa mengarahkan si naka menuju surgaNya menuju ampunan rahmat dan kasih sayangNya semata

Menjadi ibu berarti siap menerima amanah dari ALLAH Yang Menggenggam Kehidupan

Menjadi ibu berarti siap menerima resiko kala mengandung dan melahirkan anaknya

Menjadi ibu menjadi perkara terindah seorang perempuan diciptakan oleh ALLAH Yang Maha Kuasa

Biografi Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah



Nama seberanya adalah Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub bin Sa’ad bin Huraiz az-Zar’i, kemudian ad-Dimasyqi. Dikenal dengan ibnul Qayyim al-Jauziyyah nisbat kepada sebuah madrasah yang dibentuk oleh Muhyiddin Abu al-Mahasin Yusuf bin Abdil Rahman bin Ali al-Jauzi yang wafat pada tahun 656 H, sebab ayah Ibnul Qayyim adalah tonggak bagi madrasah itu. Ibnul Qayyim dilahirkan di tengah keluarga berilmu dan terhormat pada tanggal 7 Shaffar 691 H. Di kampung Zara’ dari perkampungan Hauran, sebelah tenggara Dimasyq (Damaskus) sejauh 55 mil.

Pertumbuhan Dan Thalabul Ilminya

Ia belajar ilmu faraidl dari bapaknya karena beliau sangat menonjol dalam ilmu itu. Belajar bahasa Arab dari Ibnu Abi al-Fath al-Baththiy dengan membaca kitab-kitab: (al-Mulakhkhas li Abil Balqa’ kemudian kitab al-Jurjaniyah, kemudian Alfiyah Ibnu Malik, juga sebagian besar Kitab al-kafiyah was Syafiyah dan sebagian at-Tas-hil). belajar dari syaikh Majduddin at-Tunisi satu bagian dari kitab al-Muqarrib li Ibni Ushfur. Belajar ilmu Ushul dari Syaikh Shafiyuddin al-Hindi, Ilmu Fiqih dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syaikh Isma’il bin Muhammad al-Harraniy. Beliau amat cakap dalam hal ilmu melampaui teman-temannya, asyhur di segenap penjuru dunia dan amat dalam pengetahuannya tentang madzhab-madzhab Salaf. Pada akhirnya beliau benar-benar bermulazamah secara total (berguru secara intensif) kepada Ibnu Taimiyah sesudah kembalinya Ibnu Taimiyah dari Mesir tahun 712 H hingga wafatnya tahun 728 H.
Ibnul Qayyim yang menyebarluaskan ilmu Ibnu Taimiyah dengan cara menyusun karya-karyanya yang bagus dan dapat diterima. Ibnul Qayyim pernah dipenjara, dihina dan diarak berkeliling bersama Ibnu Taimiyah sambil didera dengan cambuk di atas seekor onta. Setelah Ibnu Taimiyah wafat, Ibnul Qayyim pun dilepaskan dari penjara. Sebagai hasil dari mulazamahnya (bergurunya secara intensif) kepada Ibnu Taimiyah, beliau dapat mengambil banyak faedah besar, diantaranya yang penting ialah berdakwah mengajak orang supaya kembali kepada kitabullah Ta’ala dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahihah, berpegang kepada keduanya, memahami keduanya sesuai dengan apa yang telah difahami oleh as-Salafus ash-Shalih, membuang apa-apa yang berselisih dengan keduanya, serta memperbaharui segala petunjuk ad-Din yang pernah dipalajarinya secara benar dan membersihkannya dari segenap bid’ah.
Penguasaannya terhadap Ilmu Tafsir tiada bandingnya, pemahamannya terhadap Ushuluddin mencapai puncaknya dan pengetahuannya mengenai Hadits, makna hadits, pemahaman serta Istinbath-Istinbath rumitnya, sulit ditemukan tandingannya. Beliau berpegang pada (prinsip) ijtihad serta menjauhi taqlid. Beliau rahimahullah benar-benar menyibukkan diri dengan ilmu dan telah benar-benar mahir dalam berbagai disiplin ilmu, namun demikian beliau tetap terus banyak mencari ilmu, siang maupun malam dan terus banyak berdo’a.

Misinya

Sesungguhnya Hadaf (tujuan) dari Ulama Faqih ini adalah hadaf yang agung. Beliau telah susun semua buku-bukunya pada abad ke-tujuh Hijriyah, suatu masa dimana kegiatan musuh-musuh Islam dan orang-orang dengki begitu gencarnya. Kegiatan yang telah dimulai sejak abad ketiga Hijriyah ketika jengkal demi jengkal dunia mulai dikuasai Isalam, ketika panji-panji Islam telah berkibar di semua sudut bumi dan ketika berbagai bangsa telah banyak masuk Islam; sebahagiannya karena iman, tetapi sebahagiannya lagi terdiri dari orang-orang dengki yang menyimpan dendam kesumat dan bertujuan menghancurkan (dari dalam pent.) dinul Hanif (agama lurus). Orang-orang semacam ini sengaja melancarkan syubhat (pengkaburan)-nya terhadap hadits-hadits Nabawiyah Syarif dan terhadap ayat-ayat al-Qur’anul Karim. Maka adalah satu keharusan bagi para A’immatul Fiqhi serta para ulama yang memiliki semangat pembelaan terhadap ad-Din, untuk bertekad memerangi musuh-musuh Islam beserta gang-nya dari kalangan kaum pendengki, dengan cara meluruskan penafsiran secara shahih terhadap ketentuan-ketentuan hukum syari’ah, dengan berpegang kepada Kitabullah wa sunnatur Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam

Murid-Muridnya

Ibnul Qayyim benar-benar telah menyediakan dirinya untuk mengajar, memberi fatwa, berdakwah dan melayani dialog. Karena itulah banyak manusia-manusia pilihan dari kalangan para pemerhati yang menempatkan ilmu sebagai puncak perhatiannya, telah benar-benar menjadi murid beliau. Mereka itu adalah para Ulama terbaik yang telah terbukti keutamaannya, di antaranya ialah: anak beliau sendiri bernama Syarafuddin Abdullah, anaknya yang lain bernama Ibrahim, kemudian Ibnu Katsir ad-Dimasyqiy penyusun kitab al-Bidayah wan Nihayah, al-Imam al-Hafizh Abdurrahman bin Rajab al-Hambali al-Baghdadi penyusun kitab Thabaqat al-Hanabilah, Ibnu Abdil Hadi al-Maqdisi, Syamsuddin Muhammad bin Abdil Qadir an-Nablisiy, Ibnu Abdirrahman an-Nablisiy, Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qaimaz adz-Dzhahabi at-Turkumaniy asy-Syafi’i, Ali bin Abdil Kafi bin Ali bin Taman As Subky, Taqiyussssddin Abu ath-Thahir al-Fairuz asy-Syafi’i dan lain-lain.

Istri Bapak Merawat Ibuku


Gerimis sore itu membasahi makam ibuku. Ibu, orang yang melahirkan dan mengasihiku dengan sepenuh hati, meninggal tepat 2 tahun yang lalu. Masih bisa kurasakan sentuhan lembut tangannya di pipiku saat aku memutuskan untuk melanjutkan sekolah menengah atasku di Malang, pergi ke kota tempat kakak laki-lakiku bekerja.

Lirih saat itu beliau berkata, ”Nduk, hati-hati ya di sana, pintar-pintar jaga diri dan tolong diawasi kakakmu itu, jangan nakal-nakal ya, ibu bakal kangen sama anak perempuan ibu yang satu ini .. “senyuman itu mengiringi kepergianku.

Kepergian yang ‘terpaksa’ harus kulakukan. Terpaksa? . Ya. Namaku Weni, Aku tinggal di pesisir pantai Situbondo. Ibuku lumpuh sejak aku TK. Aku tidak tahu dan tidak pernah tahu apa penyebabnya. Saat itu aku hanya bisa menangis menyaksikan ibu yang melahirkanku itu harus terus menerus tidur di tempat tidur atau duduk manis di atas kursi roda. Cobaan itu seperti suatu musibah bagiku. Ia sanggup mengubah pribadiku yang periang menjadi pemurung dan suka menangis. Setiap melihat beliau, tak ayal aku menangis dan menangis. Tapi aku tidak pernah menangis di hadapannya, aku tidak ingin menyakitinya. Hanya kakak laki-lakiku yang tahu saat itu, dan kemudian dialah yang berhasil membuatku menerima semua cobaan ini dengan hati yang lapang.

Suatu ketika bapak memutuskan untuk poligami saat aku hampir menyelesaikan studiku di sekolah menengah pertama.

Aku berontak.

“Bagaimana Bapak bisa setega itu sama ibu?!!!”teriakku.

Dan Bapak hanya bisa terdiam. Aku tidak menyerah, kucari kakak laki-lakiku yang saat itu sedang libur kerja. Mencari dukungan. Dan dengan lembutnya ia berkata,

Wes tho nduk, Bapak pasti sudah memikirkan keputusannya itu dengan matang, ibu juga sudah tahu kok. Kita percaya saja sama bapak ya. Do’akan bapak sama ibu juga” kata-kata kakakku berhasil menenangkanku.

Aku merasa bersalah telah berteriak pada bapak yang semakin menua.

Akad nikah serta walimah bapakku dan istrinya itu akhirnya berlangsung dengan sederhana. Walaupun mereka sudah menikah, entah kenapa aku tidak ingin menganggapnya ibu, meskipun ia kini menjadi ibu tiriku. Sebutan ‘ibu’ hanyalah untuk orang yang melahirkanku, dan akan selamanya begitu.
Ada rasa yang mengganjal saat istri baru bapakku itu menginjakkan kaki di rumahku. Ia sangat perhatian padaku, pada ibu dan ayahku. Terutama pada ibuku. Ia begitu telaten merawat ibuku. Hatiku masih juga tidak luluh oleh semua kebaikannya. Aku berontak dalam diam. Dan keputusan untuk melanjutkan sekolah di Malang sampai aku masuk perguruan   tinggi adalah salah satu pemberontakanku.

Saat aku di Malang, ibu tidak henti-hentinya menceritakan kebaikan istri baru Bapakku itu. Rupanya beliau melihat ketidaknyamananku atas kehadiran istri bapakku dan mencoba untuk menengahi. Aku hanya bisa diam dan menangis dalam hati. Terharu atas semua kesabaran ibu. Dan setiap aku pulang, aku tetap tidak bisa menyembunyikan ketidaknyamananku padanya, meskipun pada akhirnya kututupi dengan bermuka manis di hadapan istri bapakku. Aku tidak ingin lagi menyakiti hati bapak, terutama ibu, sungguh aku sangat menyayangi ibuku.

Peristiwa pagi itu mengguncangku, ibuku meninggal tepat saat aku di sampingnya, aku menangis tak henti-henti, seolah tidak percaya beliau akan meninggalkanku begitu saja sebelum sempat melihatku menyelesaikan studi di perguruan tinggi. Aku menangis saat mengingat beliau berpesan agar menerima istri bapak sebagai ibuku. Aku kembali menangis saat mengingat itu ternyata adalah pesan terakhir ibu untukku. Dan untuk pertama kali setelah bapak menikah dengan istri nya 5 tahun yang lalu, aku memanggilnya ‘ibu’. Yang disambut haru dan pelukan oleh ‘ibu’ baruku itu. Aku ikut terharu, bapak juga. Dan ternyata hanya ibu yang sanggup meluluhkan tembok penghalang di hatiku.

Hari ini adalah tepat 2 tahun ibu meninggalkanku
Rasanya baru kemarin senyuman itu menghiasi bibirmu saat engkau harus menghadapNya, ibu
Ibu, walaupun pada akhirnya aku harus memanggilnya ibu,
Dalam hatiku engkau tetaplah ibuku
Ibu yang melahirkan dan  merawatku dengan kasih sayang
Ibu yang mengajariku tentang arti sebuah kesederhanaan dan kesabaran
Bahkan saat bertemu di akhirat nanti
Aku ingin tetap menjadi anakmu ibu ..
Ibu,. sungguh aku rindu
Dan gerimis pun turun di pipiku mengiringi langit yang mulai memerah

*based on true story dengan ‘sedikit’ perubahan

dipublish juga di sini

Super Mom


Saya sedang tertarik dengan sosok ibu. Sosok yang kesannya selalu berada ‘di belakang’ orang-orang besar. Orang-orang besar yang mengukir sejarah selalu tidak luput dalam peran seorang ibu. Saya memilih sosok ibu yang kini menjadi seorang nenek. Nenek dari almarhum ayah saya. Ayah saya yang paling hebat. Anak dari nenek saya ada 4 orang, yang paling besar adalah ayah, anak kedua dan ketiga laki-laki serta yang terakhir perempuan. Saat ditinggal almarhum kakek, nenek masih muda, usianya saat itu menginjak 25 tahun, ayah masih berumur 10 tahun, paman 7 tahun, paman ke-2 3 tahun dan bibi masih berumur 3 bulan.

Kematian kakek sontak membuat nenek ingin segera pindah dari rumah yang dihuni beliau saat itu yang juga milik mertua nenek. Saya paham, beliau hanya tidak ingin terlalu larut dalam kesedihan mengenang kepergian kakek. Pindah dari rumah kakek bukan berarti nenek sudah punya rumah di tempat lain. Tidak. Beliau merintis sendiri dari nol untuk membangun rumah yang layak dihuni dengan keempat putra-putrinya dengan mencoba mengajar di salah satu sekolah dasar(Madrasah Tsanawiyah) dengan hanya berbekal ijazah SMP. Hal itu beliau pikir patut untuk dilakukan karena dengan hanya mengandalkan pensiunan almarhum kakek yang ‘hanya’ guru agama SD itu untuk membiayai beliau dan pendidikan keempat anakknya tidak akan cukup. Bukannya tidak ada yang membantu, tapi saudara beliau juga tidak jauh berbeda, sama-sama miskin. Bangunan rumah beliau juga tidak jauh dari sanak keluarganya.

Kepergian kakek membuat nenek menempa diri dan anak-anaknya denngan keras, termasuk ayah. Mungkin ayah yang tempaannya lebih keras dibanding anak-anaknya yang lain karena ayah yang lebih tua, dan merasa diberi tanggung jawab untuk mendidik ketiga adiknya pula. Dan karena ayah yang kesadarannya kemudian menjadi utuh, seperti menjadi penanggung jawab adik-adiknya dan dididik nenek dengan keras. Keras. Karena kehidupan saat itu juga menuntut beliau menjadi orang yang keras. Jika dalam satu hari tidak ada yang dimakan itu sudah menjadi kebiasaan nenek dan keempat anaknya. Pernah dalam suatu hari nenek bercerita,
Bulikmu mbiyen pas jek cilik tau njaluk mangan, trus aku ngomong ora ono, eh malah ngeyel, akhire aku ngomong, iki lho drijiku irisen, gorengen” (“Bibimu dulu waktu kecil pernah minta makan, trus aku bilang tidak ada makanan, dia malah memaksa, akhirnya aku bilang, ini jari ibu potong saja, digoreng sana”).
Ketekunan dan kegigihan nenek dalam mencari sesuap nasi demi menghidupi juga memenuhi pendidikan keempat anaknya membuatku takjub akan sosok beliau. Kesungguhan memang selalu membuahkan hasil, dengan izin ALLAH. Karena ketekunan dan loyalitas nenek dalam mengajar di sekolah tersebut selama beberapa tahun, beliau diangkat menjadi PNS. Manusia punya keinginan, ALLAH punya kehendak. Nenek yang berharap anak-anaknya paling tidak bisa meneruskan pendidikan setidaknya sampai jenjang SMA malah diperkenankan ALLAH mengenyam pendidikan hingga tingkat sarjana. Subhanalloh. Keyakinan penuh beliau bahwa ALLAh tidak akan membebani hamba di luar kemampuan membuat beliau tidak goyah diterpa cobaan yang tidak sedkit dalam merawat, mendidik dan membesarkan keempat anaknya.
Kesetiaan, kecintaan dan rasa hormat pada almarhum kakek juga yang mungkin membuat ALLAH memberkahi upayanya dalam merawat dan membesarkan keempat anaknya. Betapa tidak, dalam usia yang relatif muda saat ditinggal almarhum kakek, banyak perjaka yang ingin mempersunting beliau, sejak saat 5 hari dari kepergian kakek hingga putri terakhirnya sudah berumah tangga. Semua sifat baik yang dimiliki oleh keempat anaknya, beliau katakan, merupakan turunan kebaikan dari almarhum suaminya. Terakhir, beberapa hari setelah kepergian ayah ke rahmatulloh, nenekku ini berpesan,
Pancen garise ayahmu iku wis ngono, kene mung kudu ikhlas, Gusti ALLAH iku mesti maringi sing `pik. Mbahbuk iki biyen malah pas ditinggal anake isek cilik-cilik ..”(Memang sudah takdir ayahmu, kita hanya harus ikhlas, ALLAH selalu memberikan yang terbaik.Mbahbuk* ini dulu ditinggal waktu anak-anak masih kecil ..)
Mengapa seorang perempuan di usianya yang relatif muda bisa sedemikian tegar dan tangguh dalam mengarungi kehidupan dengan keempat anak di ‘punggungnya’? itu pertanyaan yang akhirnya muncul di benak saya. Di usia semuda itu, untuk orang zaman sekarang mungkin akan lebih memilih untuk menikah lagi, menerima pinangan laki-laki lain atau meninggalkan begitu saja anak-anaknya tanpa peduli, menitipkan di panti asuhan, atau seperti sinetron-sinetron Indonesia yang menceritakan seorang ibu meninggalkan anaknya begitu saja di depan rumah orang kaya, kemudian bercita-cita menemuinya kelak ketika sudah dewasa. Itu potret sinetron Indonesia, atau mungkin orang Indonesia yang terpotret dalam sinetron. Latar belakang ternyata. Nenek sedari kecil dibesarkan dalam kehidupan yang agamis, bahkan bisa dibilang lingkungannya kental akan suasana agama, pondok pesantren. Beliau adalah putri pertama dari seorang kyai yang juga pemilik pondok pesantren. Tak heran jika nilai-nilai Islam terpancang kuat di sanubari nenek, mendarah daging, menjadi nafas beliau untuk senantiasa bergerak dan berjuang untuk anak-anaknya yang sekaligus amanah ALLAH yang harus diselesaikan bahkan sampai nafas terakhir yang ALLAH berikan.

*Mbahbuk: panggilan untuk nenek (Mbah Ibu)