Di Sisi Awan Aku Menunggui Hujan
Lama nggak posting, ini mau menpublish tulisan orang yang tersimpan rapi di lepy, lupa nggak ngopy nama penulisnya, yang jelas tulisan di bawah bukan tulisan saya, he. Semoga yang mengarang tidak tersinggung sumbernya tidak dicantumkan, kalau tidak salah ingat saya ambil dari situs fimadani.
---
Teringat serangkaian kisah yang menghampir di
selasar pikiran. Satu–satu, kadang bertindih, berebut diungkap dengan ujung
pena. Saat burung–burung Sriti mengantar hujan menyambangi muka bumi. Ada
ceria, ada hati yang berduka. Ada tawa, ada mulut yang mencibir resah. Namun,
yang pasti ada rahmat Tuhan yang sedang tercurah.
Suatu kali dalam sebuah perjalanan, ada hujan
mengetuk-ngetuk atap kendaraan yang kutumpangi, mengusap-usap kaca mobilnya,
lalu bertemu riang dengan titik-titik lainnya di tanah. Sekitaran perlahan
memburam, hawa mendingin melawan polusi yang memanaskan dari segala kendaraan.
Seseorang menceracau pada hujan.
“Aduh, mengapa hujan siang-siang seperti ini?
Merepotkan saja!”
Orang tersebut nampak kesal. Ada dongkol yang
memenuhi rongga dada. Egonya tidak rela jika hujan membersamainya memetik
nafkah.
Padahal hujan hanyalah rahmat. Yang hanya
sebagian mata yang jeli saja yang mampu melihatnya demikian. Selebihnya hujan
sering terlihat semacam cara Tuhan menyusahkan umat manusia.
Mungkin jemuran menjadi begitu malas mentransfer
kandungan airnya kala hujan menderas, kala udara meninggikan humiditas. Kita
lantas mencela hujan yang tempias.
Mungkin sepatu kinclong semula, semacam gorengan
yang dicocol ke sambal petis kemudian. Kotor oleh lumpur dari tanah yang
dihajar air dari langit. Kita lalu bangkit memusuhi hujan dengat sengit.
Pohon tumbang, banjir bandang, air menenggelamkan
ladang, penyakit tak luput datang. Hati yang mati hanya akan menyalahkan hujan,
yang sesungguhnya hanya sepasukan langit yang ingin mengembalikan air yang
telah menjenuh di angkasa. Karenanya, ada perimbangan yang nyata dalam sebuah
siklus air di dunia. Dan bukankah ini hanyalah keadilan Yang Kuasa?
Mari sedikit memicingkan mata. Pada dedaunan yang
bersepuh hijau setelah hujan berkali-kali membasuhnya. Pada tanah yang menutup
setelah sebelumnya kerontang merengkah. Pada katak yang menyenandungkan puja
puji setelah nyanyian hujan yang merintik. Pada penjual kacang yang ramai
pembeli, yang tanpa hujan jualannya sering tak terbeli. Pada pemerintah yang
bangga dengan rapat-rapatnya – oh, hasilnya masih belum mampu mewadahi dan
mengelola air dariNya.
Terserak celah-celah untuk mengintip hakikat
hujan. Ia adalah tantangan bagi manusia untuk mengukur sejauh mana kecanggihan
kemanusiaannya, kecerdikan akalnya, dan kelapangan hatinya. Maka hujan adalah
sebentuk cara yang mungkin tidak biasa untuk mengasah kualitas kehidupan
seorang insan. Tinggal, dimana mata hati kita memandanginya dengan seksama tanpa
bosan.
Maka selalulah membersamakan pikiran kebaikan
pada hujan yang merintik di perjalanan para musafir. Maka akan terasalah rahmat
dalam butir-butir dari gumpalan-gumpalan awan yang digembalakan angin. Hingga
pada sebuah noktah, kita mengatakan “apa yang datang dari Tuhan adalah selalu
yang terbaik bagi kita”.
Di sisi awan, aku menunggui hujan. Sebab,
disinilah pelangi akan jatuh di sekujur badan.
Di sisi awan, aku, kamu menunggui hujan. Sebab,
disini dada akan meluas lebih lapang.
Pun, seandainya duka mendera, maka tak akan ada
yang tahu bahwa dalam gerimis, ada air mata kita yang tertumpah.
Posting Komentar