Super Mom


Saya sedang tertarik dengan sosok ibu. Sosok yang kesannya selalu berada ‘di belakang’ orang-orang besar. Orang-orang besar yang mengukir sejarah selalu tidak luput dalam peran seorang ibu. Saya memilih sosok ibu yang kini menjadi seorang nenek. Nenek dari almarhum ayah saya. Ayah saya yang paling hebat. Anak dari nenek saya ada 4 orang, yang paling besar adalah ayah, anak kedua dan ketiga laki-laki serta yang terakhir perempuan. Saat ditinggal almarhum kakek, nenek masih muda, usianya saat itu menginjak 25 tahun, ayah masih berumur 10 tahun, paman 7 tahun, paman ke-2 3 tahun dan bibi masih berumur 3 bulan.

Kematian kakek sontak membuat nenek ingin segera pindah dari rumah yang dihuni beliau saat itu yang juga milik mertua nenek. Saya paham, beliau hanya tidak ingin terlalu larut dalam kesedihan mengenang kepergian kakek. Pindah dari rumah kakek bukan berarti nenek sudah punya rumah di tempat lain. Tidak. Beliau merintis sendiri dari nol untuk membangun rumah yang layak dihuni dengan keempat putra-putrinya dengan mencoba mengajar di salah satu sekolah dasar(Madrasah Tsanawiyah) dengan hanya berbekal ijazah SMP. Hal itu beliau pikir patut untuk dilakukan karena dengan hanya mengandalkan pensiunan almarhum kakek yang ‘hanya’ guru agama SD itu untuk membiayai beliau dan pendidikan keempat anakknya tidak akan cukup. Bukannya tidak ada yang membantu, tapi saudara beliau juga tidak jauh berbeda, sama-sama miskin. Bangunan rumah beliau juga tidak jauh dari sanak keluarganya.

Kepergian kakek membuat nenek menempa diri dan anak-anaknya denngan keras, termasuk ayah. Mungkin ayah yang tempaannya lebih keras dibanding anak-anaknya yang lain karena ayah yang lebih tua, dan merasa diberi tanggung jawab untuk mendidik ketiga adiknya pula. Dan karena ayah yang kesadarannya kemudian menjadi utuh, seperti menjadi penanggung jawab adik-adiknya dan dididik nenek dengan keras. Keras. Karena kehidupan saat itu juga menuntut beliau menjadi orang yang keras. Jika dalam satu hari tidak ada yang dimakan itu sudah menjadi kebiasaan nenek dan keempat anaknya. Pernah dalam suatu hari nenek bercerita,
Bulikmu mbiyen pas jek cilik tau njaluk mangan, trus aku ngomong ora ono, eh malah ngeyel, akhire aku ngomong, iki lho drijiku irisen, gorengen” (“Bibimu dulu waktu kecil pernah minta makan, trus aku bilang tidak ada makanan, dia malah memaksa, akhirnya aku bilang, ini jari ibu potong saja, digoreng sana”).
Ketekunan dan kegigihan nenek dalam mencari sesuap nasi demi menghidupi juga memenuhi pendidikan keempat anaknya membuatku takjub akan sosok beliau. Kesungguhan memang selalu membuahkan hasil, dengan izin ALLAH. Karena ketekunan dan loyalitas nenek dalam mengajar di sekolah tersebut selama beberapa tahun, beliau diangkat menjadi PNS. Manusia punya keinginan, ALLAH punya kehendak. Nenek yang berharap anak-anaknya paling tidak bisa meneruskan pendidikan setidaknya sampai jenjang SMA malah diperkenankan ALLAH mengenyam pendidikan hingga tingkat sarjana. Subhanalloh. Keyakinan penuh beliau bahwa ALLAh tidak akan membebani hamba di luar kemampuan membuat beliau tidak goyah diterpa cobaan yang tidak sedkit dalam merawat, mendidik dan membesarkan keempat anaknya.
Kesetiaan, kecintaan dan rasa hormat pada almarhum kakek juga yang mungkin membuat ALLAH memberkahi upayanya dalam merawat dan membesarkan keempat anaknya. Betapa tidak, dalam usia yang relatif muda saat ditinggal almarhum kakek, banyak perjaka yang ingin mempersunting beliau, sejak saat 5 hari dari kepergian kakek hingga putri terakhirnya sudah berumah tangga. Semua sifat baik yang dimiliki oleh keempat anaknya, beliau katakan, merupakan turunan kebaikan dari almarhum suaminya. Terakhir, beberapa hari setelah kepergian ayah ke rahmatulloh, nenekku ini berpesan,
Pancen garise ayahmu iku wis ngono, kene mung kudu ikhlas, Gusti ALLAH iku mesti maringi sing `pik. Mbahbuk iki biyen malah pas ditinggal anake isek cilik-cilik ..”(Memang sudah takdir ayahmu, kita hanya harus ikhlas, ALLAH selalu memberikan yang terbaik.Mbahbuk* ini dulu ditinggal waktu anak-anak masih kecil ..)
Mengapa seorang perempuan di usianya yang relatif muda bisa sedemikian tegar dan tangguh dalam mengarungi kehidupan dengan keempat anak di ‘punggungnya’? itu pertanyaan yang akhirnya muncul di benak saya. Di usia semuda itu, untuk orang zaman sekarang mungkin akan lebih memilih untuk menikah lagi, menerima pinangan laki-laki lain atau meninggalkan begitu saja anak-anaknya tanpa peduli, menitipkan di panti asuhan, atau seperti sinetron-sinetron Indonesia yang menceritakan seorang ibu meninggalkan anaknya begitu saja di depan rumah orang kaya, kemudian bercita-cita menemuinya kelak ketika sudah dewasa. Itu potret sinetron Indonesia, atau mungkin orang Indonesia yang terpotret dalam sinetron. Latar belakang ternyata. Nenek sedari kecil dibesarkan dalam kehidupan yang agamis, bahkan bisa dibilang lingkungannya kental akan suasana agama, pondok pesantren. Beliau adalah putri pertama dari seorang kyai yang juga pemilik pondok pesantren. Tak heran jika nilai-nilai Islam terpancang kuat di sanubari nenek, mendarah daging, menjadi nafas beliau untuk senantiasa bergerak dan berjuang untuk anak-anaknya yang sekaligus amanah ALLAH yang harus diselesaikan bahkan sampai nafas terakhir yang ALLAH berikan.

*Mbahbuk: panggilan untuk nenek (Mbah Ibu)

0 Responses