Istri Bapak Merawat Ibuku


Gerimis sore itu membasahi makam ibuku. Ibu, orang yang melahirkan dan mengasihiku dengan sepenuh hati, meninggal tepat 2 tahun yang lalu. Masih bisa kurasakan sentuhan lembut tangannya di pipiku saat aku memutuskan untuk melanjutkan sekolah menengah atasku di Malang, pergi ke kota tempat kakak laki-lakiku bekerja.

Lirih saat itu beliau berkata, ”Nduk, hati-hati ya di sana, pintar-pintar jaga diri dan tolong diawasi kakakmu itu, jangan nakal-nakal ya, ibu bakal kangen sama anak perempuan ibu yang satu ini .. “senyuman itu mengiringi kepergianku.

Kepergian yang ‘terpaksa’ harus kulakukan. Terpaksa? . Ya. Namaku Weni, Aku tinggal di pesisir pantai Situbondo. Ibuku lumpuh sejak aku TK. Aku tidak tahu dan tidak pernah tahu apa penyebabnya. Saat itu aku hanya bisa menangis menyaksikan ibu yang melahirkanku itu harus terus menerus tidur di tempat tidur atau duduk manis di atas kursi roda. Cobaan itu seperti suatu musibah bagiku. Ia sanggup mengubah pribadiku yang periang menjadi pemurung dan suka menangis. Setiap melihat beliau, tak ayal aku menangis dan menangis. Tapi aku tidak pernah menangis di hadapannya, aku tidak ingin menyakitinya. Hanya kakak laki-lakiku yang tahu saat itu, dan kemudian dialah yang berhasil membuatku menerima semua cobaan ini dengan hati yang lapang.

Suatu ketika bapak memutuskan untuk poligami saat aku hampir menyelesaikan studiku di sekolah menengah pertama.

Aku berontak.

“Bagaimana Bapak bisa setega itu sama ibu?!!!”teriakku.

Dan Bapak hanya bisa terdiam. Aku tidak menyerah, kucari kakak laki-lakiku yang saat itu sedang libur kerja. Mencari dukungan. Dan dengan lembutnya ia berkata,

Wes tho nduk, Bapak pasti sudah memikirkan keputusannya itu dengan matang, ibu juga sudah tahu kok. Kita percaya saja sama bapak ya. Do’akan bapak sama ibu juga” kata-kata kakakku berhasil menenangkanku.

Aku merasa bersalah telah berteriak pada bapak yang semakin menua.

Akad nikah serta walimah bapakku dan istrinya itu akhirnya berlangsung dengan sederhana. Walaupun mereka sudah menikah, entah kenapa aku tidak ingin menganggapnya ibu, meskipun ia kini menjadi ibu tiriku. Sebutan ‘ibu’ hanyalah untuk orang yang melahirkanku, dan akan selamanya begitu.
Ada rasa yang mengganjal saat istri baru bapakku itu menginjakkan kaki di rumahku. Ia sangat perhatian padaku, pada ibu dan ayahku. Terutama pada ibuku. Ia begitu telaten merawat ibuku. Hatiku masih juga tidak luluh oleh semua kebaikannya. Aku berontak dalam diam. Dan keputusan untuk melanjutkan sekolah di Malang sampai aku masuk perguruan   tinggi adalah salah satu pemberontakanku.

Saat aku di Malang, ibu tidak henti-hentinya menceritakan kebaikan istri baru Bapakku itu. Rupanya beliau melihat ketidaknyamananku atas kehadiran istri bapakku dan mencoba untuk menengahi. Aku hanya bisa diam dan menangis dalam hati. Terharu atas semua kesabaran ibu. Dan setiap aku pulang, aku tetap tidak bisa menyembunyikan ketidaknyamananku padanya, meskipun pada akhirnya kututupi dengan bermuka manis di hadapan istri bapakku. Aku tidak ingin lagi menyakiti hati bapak, terutama ibu, sungguh aku sangat menyayangi ibuku.

Peristiwa pagi itu mengguncangku, ibuku meninggal tepat saat aku di sampingnya, aku menangis tak henti-henti, seolah tidak percaya beliau akan meninggalkanku begitu saja sebelum sempat melihatku menyelesaikan studi di perguruan tinggi. Aku menangis saat mengingat beliau berpesan agar menerima istri bapak sebagai ibuku. Aku kembali menangis saat mengingat itu ternyata adalah pesan terakhir ibu untukku. Dan untuk pertama kali setelah bapak menikah dengan istri nya 5 tahun yang lalu, aku memanggilnya ‘ibu’. Yang disambut haru dan pelukan oleh ‘ibu’ baruku itu. Aku ikut terharu, bapak juga. Dan ternyata hanya ibu yang sanggup meluluhkan tembok penghalang di hatiku.

Hari ini adalah tepat 2 tahun ibu meninggalkanku
Rasanya baru kemarin senyuman itu menghiasi bibirmu saat engkau harus menghadapNya, ibu
Ibu, walaupun pada akhirnya aku harus memanggilnya ibu,
Dalam hatiku engkau tetaplah ibuku
Ibu yang melahirkan dan  merawatku dengan kasih sayang
Ibu yang mengajariku tentang arti sebuah kesederhanaan dan kesabaran
Bahkan saat bertemu di akhirat nanti
Aku ingin tetap menjadi anakmu ibu ..
Ibu,. sungguh aku rindu
Dan gerimis pun turun di pipiku mengiringi langit yang mulai memerah

*based on true story dengan ‘sedikit’ perubahan

dipublish juga di sini
0 Responses